Sombong adalah penyakit yang sering
menghinggapi kita semua, yang benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa
kita sadari. Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi.
Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada
orang lain.
Di tingkat kedua, sombong
disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih
kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.
Di tingkat ketiga, sombong
disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih
bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi
tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong
karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan,
apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali
hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Akar dari kesombongan ini adalah
ego yang berlebihan. Pada tataran yang lumrah, ego menampilkan dirinya
dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri
(self-confidence). Akan tetapi, begitu kedua hal ini berubah menjadi
kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan.
Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.
Kita sebenarnya terdiri dari dua
kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada
saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya
apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai
keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Keenam
indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.
Perjalanan hidup cenderung
menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan
kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem
tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.
Perjuangan melawan kesombongan
merupakan perjuangan menuju kesadaran sejati. Untuk bisa melawan
kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang
perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya
kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual. Kesejatian kita
adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup
di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan
mati dengan tangan kosong.
Pandangan seperti ini akan
membuat kita melihat semua makhluk dalam kesetaraan universal. Kita
tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan, label, dan segala “tampak
luar” lainnya. Yang kini kita lihat adalah “tampak dalam”. Pandangan
seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau
ilusi ego.
Kedua, kita perlu menyadari
bahwa apa pun perbuatan baik yang kita lakukan, semuanya itu semata-mata
adalah juga demi diri kita sendiri. Kita memberikan sesuatu kepada
orang lain adalah juga demi kita sendiri.
Dalam hidup ini berlaku hukum
kekekalan energi. Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah
musnah. Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain.
Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk
persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang
mendalam.
Jadi, setiap berbuat baik kepada
pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita
sendiri. Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?
0 komentar:
Posting Komentar
jangan lupa memberi komentar ya :)